Notification

×

Iklan

Iklan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Catatan di Usia yang ke-80 Tahun

| Minggu, Agustus 17, 2025 WIB


Himpass.com, Sumenep - Delapan puluh tahun bukan waktu yang singkat. Negeri ini lahir dari darah dan air mata, tumbuh di atas doa para pejuang, dan berdiri di atas tanah yang seharusnya makmur. Alam memberi tanpa pelit: hutan yang luas, laut yang kaya, perut bumi yang penuh emas, minyak, dan batu mulia. Otak rakyatnya pun cerdas, tangannya terampil, kakinya kuat berpijak. Seharusnya, semua cukup untuk membuatnya berdiri mandiri.


Tapi sejarah tak pernah polos. Di masa lalu, rakyat negeri ini diiming-imingi sebuah kata sakti: merdeka. Kata yang sanggup membuat mereka melupakan rasa takut pada peluru. Kata yang mendorong mereka maju, meski di hadapan meriam. Mereka percaya, setelah itu semua, akan datang sebuah hidup yang benar-benar bebas.


Namun, apakah itu kemerdekaan sejati? Atau hanya bagian dari panggung sandiwara besar yang disusun jauh sebelum kita lahir? Sandiwara di mana penjajahan hanyalah babak pertama, dan kemerdekaan menjadi adegan manis yang membuat rakyat bersorak, sebelum babak berikutnya dimulai: penjajahan yang tak terlihat.


Kini, delapan puluh tahun berlalu. Rakyat berdiri tegap setiap tanggal yang disebut sakral. Mereka memberi hormat pada Sang Merah Putih yang berkibar gagah di tiang tinggi. Namun mereka lupa menatap tanah yang mereka pijak—tanah yang telah dikeruk, dilubangi, dan diangkut ke kapal-kapal asing. Harta negeri ini pergi pelan-pelan, tanpa bunyi tembakan, hanya dengan tinta dan tanda tangan.


Di atas kertas, negeri ini merdeka. Di mata dunia, kita bebas. Tapi di balik layar, kita masih tunduk pada aturan yang bukan kita buat. Penjajah tak lagi berkulit pucat dan berseragam tentara—mereka berjas rapi, tersenyum, datang membawa janji investasi dan pinjaman. Penjajahan kini tak mengangkat senjata, tapi mengangkat angka-angka di perjanjian hutang.


Delapan puluh tahun ini, kita mungkin terlalu sibuk menghormati bendera, sampai lupa menjaga tanah di bawahnya. Terlalu bangga pada kata *merdeka*, sampai lupa memastikan isinya benar-benar merdeka.


Karena jika kita tidak sadar, sejarah akan terus berulang—penjajah hanya berganti nama, dan rakyat tetap jadi aktor figuran dalam drama panjang bernama kemerdekaan.




Penulis : Fauzi

Editing : Yudik

×
Berita Terbaru Update