![]() |
Gambar : Rian Hapid Azmi, Anggota Himpass |
Himpass.com, Sumenep - Lahir dan bangkitlah wahai adik-adikku, ciptakanlah gelombang-gelombang peradaban yang kelak akan menggetarkan daratan. Perjuangan kita sebagai mahasiswa kepulauan bukanlah sekadar cerita biasa, melainkan sebuah narasi historis tentang bagaimana keterbatasan geografis tidak pernah mampu membatasi eksistensi intelektual.
Menjadi mahasiswa kepulauan adalah meniti jalan yang penuh dialektika: antara harapan dan realitas, antara kesenjangan dan cita-cita. Ia bukanlah perjalanan instan, tetapi menuntut resiliensi, determinasi, dan progresivitas yang berkelanjutan. Kita dipaksa untuk mengarungi samudera luas, dengan perahu sebagai saksi bisu dan ombak sebagai teman yang menguji kesabaran. Setiap hembusan angin laut adalah simbol bahwa perjuangan ini menuntut nafas panjang, layaknya estafet yang tidak boleh terputus.
Kita adalah mahasiswa yang lahir dari ufuk timur, jauh dari pusat peradaban akademik. Namun justru dari pinggiran inilah lahir kekuatan transendensi, melampaui batas-batas diri. Maka, bernafaslah kalian layaknya seorang pejuang—yang berhenti bukan karena menyerah, tetapi hanya ketika kehidupan benar-benar mencapai titik akhir.
Jangan pernah puas hanya menjadi penonton atas keberhasilan orang lain. Jadilah kalian aktor utama dalam konstelasi perubahan, bukan sekadar figuran dalam panggung besar bangsa. Kejar mimpi-mimpi kalian dengan integritas, proseslah dengan penuh rekonstruksi diri, dan jagalah paradigma kritis agar tidak terjebak pada euforia sesaat. Ingatlah selalu, ada raja dan ratu—orang tua kita—yang setiap hari menanti kepulangan kita dengan doa, berharap kita kembali membawa gelar sarjana, bukan sekadar sebagai simbol, tetapi sebagai manifestasi harapan kolektif.
Perjalanan ini memang tidak sesederhana “10 + 10 = 20”. Perjuangan mahasiswa kepulauan lebih menyerupai rumus non-linear: 1 + 1 + 2 + 3 + 3 + 4 + 2 + 3 + 1 = 20. Rumit, penuh lika-liku, kadang melelahkan, bahkan menyakitkan. Namun dari kompleksitas itulah lahir mentalitas baja. Justru karena kerumitan itu, kita belajar arti resiliensi yang sebenarnya—bahwa mustahil hanya ilusi, dan mimpi hanyalah menunggu saatnya untuk diwujudkan.
Setiap manusia memiliki potensi tanpa batas. Latar belakang tidak pernah menjadi penghalang, melainkan fondasi epistemologis untuk melompat lebih jauh. Dari keterbatasan lahir kreativitas, dari kekurangan lahir inovasi. Maka jangan pernah meremehkan anak kepulauan: kami adalah katalisator peradaban, pembawa arus baru dalam konstelasi kebangsaan.
Kita tidak sedang menempuh perjalanan pribadi semata. Kita sedang membawa misi kolektif: membuktikan bahwa anak kepulauan mampu berdiri sejajar dengan siapa pun, bahkan melampauinya. Gelombang perjuangan ini bukan sekadar tentang mencari ijazah, tetapi tentang rekonstruksi sosial dan transformasi intelektual.
Maka mari berdiri tegak, dengan ambisi yang membara dan perjuangan yang tak kenal menyerah. Lautan telah kita taklukkan, badai telah kita hadapi, dan ombak telah kita jinakkan. Semua ini adalah proses panjang menuju satu tujuan: menggapai impian yang kita gantungkan di cakrawala, dan pulang sebagai sarjana—pembawa cahaya bagi tanah kelahiran, serta katalisator perubahan bagi masa depan bangsa.
Penulis : Rian Hapid Azmi
Editing : Yudik