Notification

×

Iklan

Iklan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Hegemoni Reduksionisme: Dialektika Pendidikan Tinggi di Indonesia

| Selasa, November 11, 2025 WIB
Gambar : Moh. Jufri Kaderisasi Himpass


Himpas.com, Sumenep -Sistem arkitektonik pendidikan tinggi di Indonesia pada dasarnya diemban dengan mandat transendental: mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan peradaban antropologis universal. Namun dalam praksis implementatifnya, orientasi di perguruan tinggi sering kali mengalami disrupsi dari esensi ideal tersebut. Kampus yang seharusnya menjadi laboratorium emansipasi intelektual kini lebih tampak sebagai inkubator kapitalistik, bukan agentia humanisasi integral.


Fenomena ini terwujud melalui orientasi kurikulum yang mengalami instrumentalisasi dan reduksionisme pada kompetensi atraktif teknis sesuai dengan hegemoni kebutuhan industri. Akibatnya, dimensi aksiologis, etika substantif, dan refleksi epistemik cenderung mengalami atrofi. Mahasiswa diarahkan secara determinatif untuk menguasai kapasitas komputasional praktis dan memperoleh validasi profesional, namun jarang diajak terlibat dalam diskursus kritis mengenai makna ilmu dan dampak deontologisnya bagi masyarakat dan humanitas. Hal ini berujung pada lahirnya episteme teknokratik yang profisien secara instrumental, tetapi defisit kesadaran sosio-antropologis.


Ki Hadjar Dewantara telah sejak awal mengingatkan tentang praksis pendidikan sebagai proses nurturansi universal, bukan sekadar derivasi utilitarian tenaga kerja. Dalam kerangka filosofis ini, pendidikan sejatinya bertujuan untuk otentifikasi eksistensial manusia—menuntun segala kekuatan kodrat manusia agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya, baik sebagai entitas individu maupun anggota masyarakat.


Pandangan tersebut beresonansi kuat dengan pemikiran Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, yang secara tegas menolak hegemoni paradigma pendidikan “gaya bank” (banking system). Dalam konsepsi Freire, peserta didik hanya diposisikan sebagai wadah pasif penerima pengetahuan. Freire mengadvokasi bahwa pendidikan harus bersifat dialektis dan emancipatoris, menciptakan ko-kreasi pengetahuan sehingga peserta didik mampu melakukan dekonstruksi realitas sosialnya serta berperan aktif dalam transformasi struktural.


Sayangnya, kondisi pendidikan tinggi di Indonesia belum merefleksikan spirit progresif tersebut. Mahasiswa sering diposisikan sebagai entitas pasif dalam birokratisasi akademik yang aprioristik. Mereka dituntut mengejar indeks kapasitas kompetitif (IPK) dan menyesuaikan diri secara mekanistik dengan disposisi pasar kerja. Ruang untuk bereksperimen lintas-disiplin, melakukan investigasi hermeneutik, atau mengembangkan kapasitas refleksi kritis seringkali mengalami konstriksi. Dengan demikian, kampus berisiko menciptakan dikotomi lulusan yang efisien dalam praksis instrumental, tetapi terdegradasi dalam kapasitas refleksi meta-kognitif.


Untuk keluar dari situasi dikotomis ini, urgensi transformasi paradigmatik pendidikan tinggi menjadi imperatif aksiologis. Kampus harus dire-konseptualisasi sebagai forum dialektika epistemologis, tempat dosen dan mahasiswa bersama-sama mencari kebenaran dan makna ilmu, bukan sekadar tempat akumulasi nilai dan sertifikasi akademik. Pendidikan harus meng- eskalasi keberanian diskursif, sensitivitas empati sosial, dan tanggung jawab deontologis terhadap sesama manusia.


Hanya melalui re-orientasi aksiologis ini, pendidikan tinggi dapat kembali menjalankan fungsi sejatinya: bukan sekadar mencetak pekerja terampil, melainkan membentuk individu yang otonom, merdeka berpikir, dan berkontribusi aktif pada regenerasi humanitas universal.



Penulis : Moh. Jufri

Editing : Fauzi

×
Berita Terbaru Update