![]() |
Gambar : Bagus R. Kaderisasi Himpass |
Himpass.com, Sumenep - Malam ini, setelah saya menutup halaman terakhir buku "Sekolah Kapitalisme yang Licik" dan mengingat kembali gagasan Paulo Freire, kepala saya tak bisa berhenti berpikir. Saya terdiam, tapi pikiran saya gaduh. Bukan karena isi buku itu terlalu rumit, tapi karena isi buku itu terlalu nyata.
Saya teringat pada wajah-wajah di kampung saya, di pulau kecil yang jauh dari sorotan Daratan. Anak-anak yang tamat SMP dan SMA—kalau pun sempat sekolah—hanya bisa berhenti di situ. Minim sekali yang bisa lanjut ke bangku kuliah. Bukan karena mereka bodoh, bukan karena mereka malas. Tapi karena sistem pendidikan ini tidak benar-benar berpihak kepada mereka.
Paulo Freire menyebut sistem ini sebagai pendidikan gaya bank. Di mana guru adalah pemilik ilmu, dan murid dianggap seperti celengan kosong yang harus diisi. Tidak ada dialog. Tidak ada kebebasan berpikir. Tidak ada relevansi dengan hidup yang dijalani.
Dan saya bertanya dalam hati:
"Serumit ini kah masuk pendidikan zaman sekarang?"
Buku Freire menjawab:
"Ya, serumit ini... karena pendidikan telah dijadikan alat kekuasaan. Ia dikapitalisasi, dibirokrasikan, dan dijauhkan dari makna sejatinya: pembebasan."
Maka wajar, jika di pulau saya, pendidikan tidak terasa sebagai jembatan harapan. Ia justru tampak seperti benteng yang tak bisa ditembus. Anak-anak harus memilih:
membantu orang tua melaut, atau dipaksa bermigrasi menjadi buruh kasar. Sementara kampus-kampus terlalu jauh, terlalu mahal, dan terlalu tak terbayangkan.
Kapitalisme telah menyusup bahkan ke ruang kelas. Pendidikan dijadikan alat produksi. Nilai dijadikan patokan, bukan proses berpikir. Sertifikat dihormati, manusia dilupakan.
Tapi di tengah kegelisahan itu, saya teringat akan sesuatu. Beasiswa dari Perusahaan KEI yang saya terima—sekilas tampak seperti hal kecil, tapi dampaknya besar. Berkat bantuan itu, saya bisa membeli buku ini. Saya bisa membuka cakrawala. Saya bisa memahami bahwa yang saya alami bukan sekadar nasib, tapi bagian dari sistem yang disengaja.
Maka saya ucapkan terima kasih yang tulus kepada KEI. Bantuan itu tidak hanya berarti buku. Itu adalah bahan bakar untuk berpikir, untuk memahami, dan untuk melawan ketidakadilan.
Paulo Freire mengajarkan sesuatu:
kita bisa melawan. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan kesadaran kritis. Kita harus menciptakan pendidikan yang memanusiakan manusia, bukan yang hanya mencetak pekerja.
Mungkin saya bukan siapa siapa. Tapi saya tahu satu hal:
Diam hanya akan memperpanjang penderitaan. Dari pulau terpencil ini, harus ada yang memulai. Harus ada yang menulis. Harus ada yang mengusik tenangnya sistem yang nyaman dalam ketimpangan.
Karena pendidikan bukan sekadar soal masuk universitas. Tapi soal mengubah dunia dimulai dari memahami kenyataan kita sendiri.
Penulis : Bagus R
Editing : Fauzi