Notification

×

Iklan

Iklan

Dari Introvert Tertutup Menjadi Pribadi Adaptif: Menemukan Harmoni Antara Empati dan Batasan Diri

| Rabu, Januari 08, 2025 WIB

Foto : Nurul Mutmainnah Pengurus Himpass Periode 2024 - 2025
Himpassnews.com/Opini/Sumenep - Dahulu, aku dikenal sebagai individu dengan kepribadian yang cenderung introvert, terkesan tertutup, dan sering kali diasosiasikan dengan sikap apatis atau bahkan berjarak terhadap orang-orang baru. Faktanya, kesan tersebut hanyalah fenomena awal dalam proses interaksi sosial. Aku memiliki kecenderungan untuk memerlukan waktu dalam membuka diri dan membangun koneksi interpersonal yang lebih mendalam.

Sejak memasuki dunia perkuliahan, aku mulai menginternalisasi proses pelepasan rigiditas diri. Dahulu, aku merasa sulit untuk beradaptasi dalam lingkungan baru, namun kini interaksi dengan individu yang belum dikenal terasa lebih mudah dan alami. Ternyata, membuka diri terhadap dinamika sosial dan menyambut dunia dengan perspektif yang lebih inklusif memberikan pengalaman yang begitu memperkaya. Melalui eksplorasi ini, aku menemukan bahwa fleksibilitas dalam berinteraksi tidak hanya memperluas jejaring sosial, tetapi juga memperkaya wawasan dan meningkatkan keterampilan interpersonal. Saat ini, aku merasa lebih adaptif, luwes, dan tanggap terhadap perubahan yang terjadi di sekelilingku

Salah satu karakteristik yang senantiasa melekat dalam diriku adalah sifat "ga enakan" atau perasaan ketidaknyamanan dalam menolak permintaan atau mengecewakan orang lain. Meskipun terkadang hal ini menimbulkan ketidaknyamanan psikologis, aku meyakini bahwa memiliki sensitivitas emosional semacam ini memiliki signifikansi yang penting dalam kehidupan sosial.

Tanpa adanya rasa empati dan kesadaran interpersonal ini, individu berpotensi menjadi egosentris dan cenderung mengabaikan aspek afektif orang lain. Namun demikian, bukan berarti sifat ini harus mendorong kita untuk terus-menerus menjadi pribadi yang rentan terhadap eksploitasi atau perlakuan yang tidak adil. Penting untuk menyeimbangkan antara empati dan batasan diri (self-boundary) agar dapat menjaga kesehatan mental dan membangun hubungan yang sehat dan saling menghargai.

Kuncinya adalah memahami kapan kita harus bersikap tegas dan kapan kita perlu menunjukkan sensitivitas terhadap perasaan orang lain. Menurut saya, menjaga rasa "tidak enakan" merupakan bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan empati dalam diri kita. Sikap ini mencerminkan adanya kesadaran emosional dan kapasitas untuk berempati, yang pada dasarnya memperkaya kualitas hubungan interpersonal.

Namun, penting untuk dicatat bahwa rasa "tidak enakan" ini harus tetap berada dalam batas yang sehat dan tidak disalahgunakan, baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain. Jika dikelola dengan tepat, perasaan tersebut dapat menjadi refleksi dari keseimbangan antara asertivitas dan empati, yang merupakan keterampilan sosial esensial dalam membangun hubungan yang harmonis dan saling menghormati.

Pendekatan ini bukan hanya menunjukkan penghargaan terhadap diri sendiri, tetapi juga mengindikasikan adanya kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang berperan dalam pengambilan keputusan dan komunikasi yang lebih efektif.


Penulis : Nurul Mutmainnah

Editing : Fauzi


 

×
Berita Terbaru Update