![]() |
Foto : Nurul Mutmainnah Pengurus Himpass Periode 2024 - 2025 |
Sejak memasuki dunia perkuliahan,
aku mulai menginternalisasi proses pelepasan rigiditas diri. Dahulu, aku merasa
sulit untuk beradaptasi dalam lingkungan baru, namun kini interaksi dengan
individu yang belum dikenal terasa lebih mudah dan alami. Ternyata, membuka
diri terhadap dinamika sosial dan menyambut dunia dengan perspektif yang lebih
inklusif memberikan pengalaman yang begitu memperkaya. Melalui eksplorasi ini,
aku menemukan bahwa fleksibilitas dalam berinteraksi tidak hanya memperluas
jejaring sosial, tetapi juga memperkaya wawasan dan meningkatkan keterampilan
interpersonal. Saat ini, aku merasa lebih adaptif, luwes, dan tanggap terhadap
perubahan yang terjadi di sekelilingku
Salah satu karakteristik yang
senantiasa melekat dalam diriku adalah sifat "ga enakan" atau
perasaan ketidaknyamanan dalam menolak permintaan atau mengecewakan orang lain.
Meskipun terkadang hal ini menimbulkan ketidaknyamanan psikologis, aku meyakini
bahwa memiliki sensitivitas emosional semacam ini memiliki signifikansi yang
penting dalam kehidupan sosial.
Tanpa adanya rasa empati dan
kesadaran interpersonal ini, individu berpotensi menjadi egosentris dan
cenderung mengabaikan aspek afektif orang lain. Namun demikian, bukan berarti
sifat ini harus mendorong kita untuk terus-menerus menjadi pribadi yang rentan
terhadap eksploitasi atau perlakuan yang tidak adil. Penting untuk
menyeimbangkan antara empati dan batasan diri (self-boundary) agar dapat
menjaga kesehatan mental dan membangun hubungan yang sehat dan saling
menghargai.
Kuncinya adalah memahami kapan
kita harus bersikap tegas dan kapan kita perlu menunjukkan sensitivitas
terhadap perasaan orang lain. Menurut saya, menjaga rasa "tidak
enakan" merupakan bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan
empati dalam diri kita. Sikap ini mencerminkan adanya kesadaran emosional dan
kapasitas untuk berempati, yang pada dasarnya memperkaya kualitas hubungan
interpersonal.
Namun, penting untuk dicatat
bahwa rasa "tidak enakan" ini harus tetap berada dalam batas yang
sehat dan tidak disalahgunakan, baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain.
Jika dikelola dengan tepat, perasaan tersebut dapat menjadi refleksi dari
keseimbangan antara asertivitas dan empati, yang merupakan keterampilan sosial
esensial dalam membangun hubungan yang harmonis dan saling menghormati.
Pendekatan ini bukan hanya
menunjukkan penghargaan terhadap diri sendiri, tetapi juga mengindikasikan
adanya kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang berperan dalam
pengambilan keputusan dan komunikasi yang lebih efektif.
Penulis : Nurul Mutmainnah
Editing : Fauzi