![]() |
Foto : Silva Rabiyanti Pengurus Himpass Poderie 2024 - 2025 |
Paradigma sempit ini telah lama berkembang dan mengakar
dalam budaya masyarakat kepulauan, sehingga dianggap sebagai kebenaran yang
mutlak. Persepsi semacam ini tidak hanya mengurangi ruang gerak perempuan,
tetapi juga menghambat potensi besar yang seharusnya bisa mereka kontribusikan
dalam berbagai aspek kehidupan, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Sebagai perempuan yang lahir dan besar di lingkungan
kepulauan, kita sejatinya memiliki peran yang strategis dalam berbagai lini
perjuangan. Secara biologis dan sosiologis, perempuan adalah penggerak
peradaban, yang tidak hanya mampu menjalankan peran domestik tetapi juga
berkontribusi dalam ranah publik. Apakah kita tidak memiliki hak dan kesempatan
yang sama dengan laki-laki untuk berargumen secara kritis dan ideal mengenai
isu-isu penting seperti demokrasi, hukum, lingkungan, dan keadilan sosial?
Dalam kajian ilmu sosial dan gender, fenomena ini disebut
sebagai hasil dari gender stereotyping—prasangka yang menetapkan peran
dan karakteristik tertentu berdasarkan jenis kelamin. Akibatnya, perempuan
sering kali dianggap kurang mampu dalam hal intelektualitas atau kepemimpinan.
Padahal, menurut teori kapabilitas yang dikembangkan oleh Amartya Sen, setiap
individu, termasuk perempuan, memiliki kemampuan potensial yang dapat
berkembang jika diberi kesempatan yang setara dan akses terhadap pendidikan,
teknologi, dan informasi.
Sebagai perempuan kepulauan, kita memiliki keunggulan yang
tidak bisa diremehkan. Lingkungan geografis yang menantang telah mengajarkan
kita nilai-nilai adaptasi, ketahanan, dan kerja keras. Perempuan kepulauan juga
sering kali menjadi penjaga budaya lokal, pelestari tradisi, dan penggerak
ekonomi mikro melalui peran mereka dalam industri perikanan, kerajinan tangan,
dan pariwisata berbasis komunitas. Dengan pengetahuan lokal (local wisdom) yang
kuat, kita mampu memberikan solusi kreatif terhadap berbagai tantangan modern,
termasuk isu perubahan iklim yang sangat relevan bagi wilayah kepulauan.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita mendobrak
batasan-batasan yang ada dan membangun narasi baru tentang perempuan kepulauan.
Kita tidak hanya berperan sebagai pengurus rumah tangga, tetapi juga sebagai
pemimpin, inovator, dan agen perubahan. Pendidikan, pelatihan, dan pemberdayaan
adalah kunci untuk mewujudkan visi tersebut. Perempuan kepulauan harus menjadi
subjek, bukan objek, dalam pembangunan daerahnya.
Mari kita terus bergerak, berpikir kritis, dan berkontribusi
nyata bagi masyarakat, negara, dan dunia. Karena sejatinya, perempuan kepulauan
bisa segala-galanya.
Beberapa tahun belakangan ini, pepatah semacam itu perlahan
mulai hilang dalam paradigma masyarakat kepulauan. Fenomena ini dapat dilihat
dari semakin meningkatnya partisipasi masyarakat kepulauan di berbagai sektor
strategis. Tidak hanya kaum pria, perempuan kepulauan pun kini memiliki peluang
yang sama untuk berkiprah dan berkontribusi di berbagai bidang.
Namun, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah
perempuan kepulauan telah siap bersaing dalam kompetisi global yang semakin
ketat? Sejauh mana dukungan keluarga, lingkungan sosial, dan struktur komunitas
mampu memberikan pengaruh signifikan terhadap perjuangan mereka?
Pertanyaan-pertanyaan ini memerlukan refleksi mendalam,
sekaligus aksi nyata untuk menjawabnya melalui capaian kolektif di masa depan.
Jalan yang harus ditempuh masih panjang dan penuh tantangan, ibarat menapaki
jalan yang ditumbuhi duri. Rasa sakit, kegagalan, dan hambatan adalah bagian
dari proses perjuangan.
Namun, dalam perspektif resilien, tidak ada pilihan lain
selain menghadapi semua itu dengan tekad, ikhtiar, dan konsistensi. Komitmen
untuk terus maju, meskipun dalam kondisi yang tidak ideal, adalah kunci menuju
keberhasilan. Dengan demikian, perempuan kepulauan tidak hanya mampu bertahan,
tetapi juga mampu bersinar sebagai agen perubahan dalam dinamika sosial,
ekonomi, dan budaya di era globalisasi.
Penulis : Silva Rabiyanti
Editing : Fauzi