Notification

×

Iklan

Iklan

Perempuan Kepulauan: Membuka Cakrawala, Menaklukkan Dunia

| Sabtu, Januari 11, 2025 WIB

 

Foto : Silva Rabiyanti Pengurus Himpass Poderie 2024 - 2025
Himpassnews.com/Opini/Sumenep - Pertanyaan seperti "Perempuan kepulauan bisa apa?" sering kali mengguncang semangat dan motivasi perempuan dari daerah kepulauan. Hal ini bukanlah fenomena baru; ungkapan semacam itu kerap terdengar dalam interaksi sosial masyarakat, baik dari teman, keluarga, tetangga, maupun orang lain. Pernyataan ini mencerminkan cara pandang yang terbatas terhadap peran perempuan, seakan-akan eksistensi mereka tidak lebih dari calon ibu rumah tangga yang bertugas mengurus rumah, memasak, dan merawat anak.

Paradigma sempit ini telah lama berkembang dan mengakar dalam budaya masyarakat kepulauan, sehingga dianggap sebagai kebenaran yang mutlak. Persepsi semacam ini tidak hanya mengurangi ruang gerak perempuan, tetapi juga menghambat potensi besar yang seharusnya bisa mereka kontribusikan dalam berbagai aspek kehidupan, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Sebagai perempuan yang lahir dan besar di lingkungan kepulauan, kita sejatinya memiliki peran yang strategis dalam berbagai lini perjuangan. Secara biologis dan sosiologis, perempuan adalah penggerak peradaban, yang tidak hanya mampu menjalankan peran domestik tetapi juga berkontribusi dalam ranah publik. Apakah kita tidak memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berargumen secara kritis dan ideal mengenai isu-isu penting seperti demokrasi, hukum, lingkungan, dan keadilan sosial?

Dalam kajian ilmu sosial dan gender, fenomena ini disebut sebagai hasil dari gender stereotyping—prasangka yang menetapkan peran dan karakteristik tertentu berdasarkan jenis kelamin. Akibatnya, perempuan sering kali dianggap kurang mampu dalam hal intelektualitas atau kepemimpinan. Padahal, menurut teori kapabilitas yang dikembangkan oleh Amartya Sen, setiap individu, termasuk perempuan, memiliki kemampuan potensial yang dapat berkembang jika diberi kesempatan yang setara dan akses terhadap pendidikan, teknologi, dan informasi.

Sebagai perempuan kepulauan, kita memiliki keunggulan yang tidak bisa diremehkan. Lingkungan geografis yang menantang telah mengajarkan kita nilai-nilai adaptasi, ketahanan, dan kerja keras. Perempuan kepulauan juga sering kali menjadi penjaga budaya lokal, pelestari tradisi, dan penggerak ekonomi mikro melalui peran mereka dalam industri perikanan, kerajinan tangan, dan pariwisata berbasis komunitas. Dengan pengetahuan lokal (local wisdom) yang kuat, kita mampu memberikan solusi kreatif terhadap berbagai tantangan modern, termasuk isu perubahan iklim yang sangat relevan bagi wilayah kepulauan.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita mendobrak batasan-batasan yang ada dan membangun narasi baru tentang perempuan kepulauan. Kita tidak hanya berperan sebagai pengurus rumah tangga, tetapi juga sebagai pemimpin, inovator, dan agen perubahan. Pendidikan, pelatihan, dan pemberdayaan adalah kunci untuk mewujudkan visi tersebut. Perempuan kepulauan harus menjadi subjek, bukan objek, dalam pembangunan daerahnya.

Mari kita terus bergerak, berpikir kritis, dan berkontribusi nyata bagi masyarakat, negara, dan dunia. Karena sejatinya, perempuan kepulauan bisa segala-galanya.

Beberapa tahun belakangan ini, pepatah semacam itu perlahan mulai hilang dalam paradigma masyarakat kepulauan. Fenomena ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya partisipasi masyarakat kepulauan di berbagai sektor strategis. Tidak hanya kaum pria, perempuan kepulauan pun kini memiliki peluang yang sama untuk berkiprah dan berkontribusi di berbagai bidang.

Namun, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah perempuan kepulauan telah siap bersaing dalam kompetisi global yang semakin ketat? Sejauh mana dukungan keluarga, lingkungan sosial, dan struktur komunitas mampu memberikan pengaruh signifikan terhadap perjuangan mereka?

Pertanyaan-pertanyaan ini memerlukan refleksi mendalam, sekaligus aksi nyata untuk menjawabnya melalui capaian kolektif di masa depan. Jalan yang harus ditempuh masih panjang dan penuh tantangan, ibarat menapaki jalan yang ditumbuhi duri. Rasa sakit, kegagalan, dan hambatan adalah bagian dari proses perjuangan.

Namun, dalam perspektif resilien, tidak ada pilihan lain selain menghadapi semua itu dengan tekad, ikhtiar, dan konsistensi. Komitmen untuk terus maju, meskipun dalam kondisi yang tidak ideal, adalah kunci menuju keberhasilan. Dengan demikian, perempuan kepulauan tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga mampu bersinar sebagai agen perubahan dalam dinamika sosial, ekonomi, dan budaya di era globalisasi.


Penulis : Silva Rabiyanti

Editing : Fauzi

×
Berita Terbaru Update